Mobile, Perjalanan

Sampai Di Jatiluwih – Catatan Kedua 17 Mei

Setelah cucian datang, makan siang di tempat favorit (nanti ceritanya ya..) Nah perjalanan dengan motor dilanjutkan ke tujuan berikut.

Pertanyaan dasar yang perlu sebelum sampai: Mambal, Mengwi, Tabanan, Jatiluwih. Ya, itu kurang lebih rute yang harus dilewati motor tanpa memakai GPS, tapi dengan daya tanya kepada siapapun yang ada.

Jalur sampai ke Mambal masih seperti pedesaan umumnya, karena masih di lingkungan Ubud. Selanjutnya rute menuju Mengwi lebih besar lagi. Sedangkan menuju Tabanan memang jalan raya, dengan tujuan utama Gilimanuk.

Sampai Tabanan ambil arah menuju Bedugul, dan pertanyaan sudah bisa menuju Jatiluwih. Tinggal ikuti saja lika-liku perjalanan sambil bertanya. Tak terasa sudah sampai wilayah Jatiluwih. Jadi tak usah khawatir dengan peta dll, malah pusing nanti.

Yang masalah adalah kostum semula untuk jalan panas siang hari ternyata makin dekat Jatiluwih semakin dingin karena terlalu tipis. Terpaksa pakai syal.

Sampai di Jatiluwih langsung menuju Warung Teras Subak And Homestay, milik keluarga Pak Putra. Ternyata pertama diantara deretan warung di atas teras subak, persis depan sawah-sawah. Sederhana tapi bersih dan ramah. Khas Bali sekali. Disini saya makan malam dan beristirahat.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Standar
Mobile, Perjalanan

Bebek Tepi Sawah Versi Original – Catatan 17 Mei

Wah sibuk jalan sampai tidak keburu posting nih. Ini disempatkan posting sambil nunggu cucian belum datang, padahal mau pindah lokasi.

Saat ini masih menikmati Ubud sejak beberapa hari lalu, belum ada habisnya. Nah pagi ini sambil iseng melewati Jalan Kajeng, suatu jalan unik dengan pasangan semen dan batu bertulis (entah penyumbang atau orang top seperti di holiwud itu)..

Nah jalan ini juga termasuk yang paling unik di Ubud, mungkin lain kali saya akan coba cari penginapan disini .. Suasananya sangat beda, seolah tidak ada di daerah wisata yang ramai padat. Padahal ya berada di tengah Ubud, masuknya tak jauh dari Puri Ubud ke arah Museum Blanco, terlihat jalan yang antik ini.

Masuk terus sampai lewat banjar Ubud Kaja, jalanan nanti habis sisa jalanan batu kecil saja. Naik saja terus, masuk persawahan yang, sayangnya sudah banyak jadi bungalow. Terus sampai jalan habis.

Nah karena sawah-sawah disini baru panen maka banyak kelompok bebek diangon disini, karena banyak makanan. Rupanya bebek-bebek itu taat lokasi. Sekali ditaruh di satu lokasi dia hanya berputar di sana saja. Kecuali yang kecil-kecil, perlu diberi jaring batas. Masih tahap belajar mungkin.

Ah, lucu sekali nonton bebek di tepi, dan di tengah sawah .. He he ini benar-benar tulen bebek tepi sawah …

Selain bebek, ternyata banyak juga bangau disini .. Hmm rupanya sebagian bangau dari Petulu mencari makan kemari.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Standar
Mobile, Perjalanan

Bukit Penanjakan: Catatan Kedua Hari Ketiga

Dingin menusuk tulang saat jip selesai parkir dan kami harus turun. Ramai sudah lokasi parkir dan kios-kios ini, banyak juga yang kelihatan mengisi perut atau sekedar berhangat-hangat.

Kami segera menurunkan peralatan memotret, dan menuju ke atas. Wah ternyata banyak juga anak tangga yang masih harus ditempuh. Ah ah hayo naik, segera, secepatnya naik. Dalam dingin, napas pendek, kami menapaki tangga satu persatu. Akhirnya sampai juga di pelataran Pos Bukit Penanjakan. Pelataran ini konon tempat yang indah untuk memandang terbitnya matahari dan melihat Bromo, Batok dan Semeru dipagi hari.

Tugas selanjutnya adalah mencari lokasi yang baik untuk memotret nanti saat pagi hari. Dan pilihan harus segera dibuat, memotret matahari terbit atau memotret Bromo Batok dan Semeru ..

Ternyata mencari tempat yang pas ini tidak mudah, karena:
– demi keamanan pengunjung semua diberi tiang dan pembatas besi yang besar. Bahkan ada yang masih ditambahkan besi model pagar halaman.
– demi estetika dan penghijauan ditanam semak dan pohon yang malahan menghalangi pemandangan.
Akibatnya tempat menaruh tripod untuk memotret sangat terbatas. Apalagi yang datang terlambat wah berdiripun sulit.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Untung kami cukup pagi, dan masih sempat memilih lokasi yang cukup baik. Diputuskan berempat mengambil foto dengan arah ke Bromo, Batol dan Semeru, tidak ada yg ke arah matahari terbit. Baca lebih lanjut

Standar
Mobile, Perjalanan

Melintasi Lautan Pasir Menuju Bromo: Catatan Kesatu Hari Ketiga

Menjelang pukul dua pagi, alarm blackberry saya berbunyi. Wah tigapuluh menit lagi kami semua harus sudah siap berangkat menuju Bromo. Bangunlah saya, mengeluarkan kaki dari sleeping bag, membuka sarung tangan, membuka kaus kaki dan memakai sandal.

Dengan berjinjit kedinginan saya melangkah ke kamar mandi. Ada dua hal yang harus dituntaskan sebelum berangkat. Pertama adalah mengosongkan isi perut, kebiasaan setiap bangun pagi yang jamnya 4 jam lebih awal dari rutinitas, berhubung tak terbayang nanti dimana lagi bisa dilaksanakan tugas ini. Yang jelas harus dihadapi adalah dinginnya air untuk bersih-bersih nantinya. Kedua, sikat gigi agar segar di perjalanan. Lho, nggak pakai mandi? Jelas tidak pakai mandi, meski sudah sehari lebih sejak keberangkatan saya tetap tidak berani mandi di Ranu Pane yang begitu dingin.

Pukul 2.30 dingin sangat terasa meskipun sudah memakai jaket, penutup kepala dan sarung tangan. Tapi yang penting adalah mesin jip sudah dipanaskan, dan ransel kami semua sudah siap. Kami pun dengan tenang meninggalkan tempat Pak Tomari karena pembayaran sudah dilakukan malam harinya sebelum tidur.

Saat masih gelap gulita ini kami menempuh perjalanan turun dari Desa Ranu Pane, melewati sebagian jalan yang kini jadi turunan terjal dan hanya terlihat oleh terangnya lampu jip. Ternyata turun itu lebih seram dari pada saat naik. Bersyukurlah saat itu cuaca cukup cerah tanpa kabut.

Tibalah kami di pertigaan menuju Bromo, dimana jalanan makin kecil dan terjal. Karena ini adalah perlintasan untuk turun ke area savanna alias padang rumput dan lautan pasir Bromo. [Kembali terbayang pengalaman 30+ tahun lalu, melalui rute ini dengan berjalan kaki setelah turun dari Semeru.]

Disini terasa sekali perkasanya mesin 5000an cc jip, dengan mesin dobel gardannya. Turunan terjal, licin, berbatu dan berlubang dilalui dengan aman. Maklumlah pengemudinya, Mas Patel, juga putra Tengger asli Ngadisari.

Tak terasa kami mulai memasuki wilayah savanna yang berumput dan semak tanaman adas (konon ini adas yang digunakan untuk bumbu masak – dan tumbuh liar). Dalam kegelapan, hanya bulan dan bintang yang menyinari; menambah serunya perjalanan pada pagi buta ini.

Gelap Gulita

Gelap Gulita

Saat Masih Gelap

Saat Masih Gelap

Memasuki area lautan pasir, jalanan bisa mendadak turun, kalau tidak hati-hati dan waspada celaka menanti. Dari kejauhan mulai nampak banyak lampu yang bergerak turun. Wah rupanya rombongan jip dari Cemoro Lawang di Bromo, sudah mulai turun. Beberapa nampak sudah memasuki lautan pasir juga. Berpaculah kami dengan rombongan jip yang turun itu.

Satu hal yang membuat saya sangat senang adalah saat menyadari bahwa kami adalah satu-satunya jip yang datang dari arah savanna, berarti apa yang kami jalani sampai pada pagi buta ini belum bersinggungan dengan jalur wisata yang umum; meskipun bukan hal baru.

Makin ramainya lampu jip yang terlihat turun dari Cemoro Lawang dan yang sudah ada di lautan pasir, membuat jip semakin cepat dipacu oleh Mas Patel, sementara Mas Monggang dengan tenang menikmati tidur. Wah adrenalin serasa mengalir kencang mengalami pacu jip dipagi buta ini.
Semua jelas mengarah pada satu tujuan, memasuki jalan mendaki nan terjal ke Bukit Penanjakan. Sesudah masuk di jalan ini semua mendaki satu persatu, tidak ada lagi susul menyusul. Tidak boleh mengundang maut!

Melewati jalan mulus yang mendaki terjal berbataskan jurang-jurang, akhirnya kami sampai pada tujuan. Pos Satu di Bukit Penanjakan. Ada apa disana?

Pagi masih gelap, dingin tetap terasa menusuk tulang.

Catatan: foto saat diperjalanan ini tidak ada, jadi diambil dari sebelum dan sesudahnya saja ..

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Standar
Mobile, Perjalanan

Api, Pusat Kehidupan … Catatan Dari Kaki Semeru (Hari Kedua Catatan Ketiga)

Dingin, sangat dingin, amat sangat dingin. Inillah kesan pertama saat mulai menjalani malam di Ranu Pane.

Sebagai desa pemukiman di lembah kaki Semeru, penduduk Ranu Pane diberkati oleh adanya dua danau sumber air. Ranu Pane dan Ranu Regulo. Ditambah dengan tanah berkandungan debu vulkanik maka lengkaplah sebagai desa pertanian. Inilah sumber kehidupan bagi penduduk Ranu Pane, orang Tengger. [Tengger dibaca dengan e seperti pada kata “telur”, kalau e seperti “lele” itu bertengger]

Konon pada musim kemarau, saat dingin mencapai puncaknya. Lembah di kaki Semeru ini akan sangat dingin. Pada pagi hari umum dijumpai butir-butir air yang kedinginan dan membeku. Baik itu di padang rumput, ladang, hutan maupun di halaman rumah. Saat pagi nan putih menyapa semua yang berada disana menyaksikan pagi.

Kami yang berada di Ranu Pane saat pergantian musim inipun suddah cukup kedinginan. Maklum anak kota metropolitan tepi pantai, yang terbiasa dengan panasnya ibukota.

Panas menjadi suatu kemewahan disini, apalagi dalam jangka waktu lama. Sumber panas yang tetap dalam rumah umum didapati pada dapur, dimana nasi ditanak, air dijerang dan lauk dimasak.

Dapur dalam keadaan ini menjadi pusat kegiatan dalam rumah. Dengan tungku yang menjadi titik utama. Ada tungku tanah, tungku batu, semen, porselen, bahkan yang berlapis kayu.

Seluruh keluarga saat di rumah akan menghabiskan waktu seputar tungku, mencari kehangatan dan memberi kehangatan. Ya disanalah aneka berita tersebar, aneka cerita dikisahkan, komunikasi dan tutur sapa. Bahasa tubuh dan hati lebih penting dari lisan. Kehangatan yang dipancarkan dari dan bagi sesama inilah yang menjadi penyegar jiwa, membentuk masyarakat Tengger yang ramah dan tulus.

Seluruh penghuni, keluarga, tamu; tua-muda, besar kecil; akan berada bersama di seputar tungku. [Bahkan kucing kecil peliharaan keluarga Tomari suka bercengkerama di perapian tungku ini] .. Makan, minum, bercengkerama bersama; merayakan kehidupan. Itulah pusat kehidupan dalam masyarakat desa Ranu Pane.

Api pusat kehidupan …

[Walau kehangatan pembicaraan nan akrab seputar tungku terus berlangsung, kami harus kembali ke kamar untuk tidur dan berkarib dengan dinginnya malam. Esok perjalanan baru menanti.]

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Standar