Menjelang pukul dua pagi, alarm blackberry saya berbunyi. Wah tigapuluh menit lagi kami semua harus sudah siap berangkat menuju Bromo. Bangunlah saya, mengeluarkan kaki dari sleeping bag, membuka sarung tangan, membuka kaus kaki dan memakai sandal.
Dengan berjinjit kedinginan saya melangkah ke kamar mandi. Ada dua hal yang harus dituntaskan sebelum berangkat. Pertama adalah mengosongkan isi perut, kebiasaan setiap bangun pagi yang jamnya 4 jam lebih awal dari rutinitas, berhubung tak terbayang nanti dimana lagi bisa dilaksanakan tugas ini. Yang jelas harus dihadapi adalah dinginnya air untuk bersih-bersih nantinya. Kedua, sikat gigi agar segar di perjalanan. Lho, nggak pakai mandi? Jelas tidak pakai mandi, meski sudah sehari lebih sejak keberangkatan saya tetap tidak berani mandi di Ranu Pane yang begitu dingin.
Pukul 2.30 dingin sangat terasa meskipun sudah memakai jaket, penutup kepala dan sarung tangan. Tapi yang penting adalah mesin jip sudah dipanaskan, dan ransel kami semua sudah siap. Kami pun dengan tenang meninggalkan tempat Pak Tomari karena pembayaran sudah dilakukan malam harinya sebelum tidur.
Saat masih gelap gulita ini kami menempuh perjalanan turun dari Desa Ranu Pane, melewati sebagian jalan yang kini jadi turunan terjal dan hanya terlihat oleh terangnya lampu jip. Ternyata turun itu lebih seram dari pada saat naik. Bersyukurlah saat itu cuaca cukup cerah tanpa kabut.
Tibalah kami di pertigaan menuju Bromo, dimana jalanan makin kecil dan terjal. Karena ini adalah perlintasan untuk turun ke area savanna alias padang rumput dan lautan pasir Bromo. [Kembali terbayang pengalaman 30+ tahun lalu, melalui rute ini dengan berjalan kaki setelah turun dari Semeru.]
Disini terasa sekali perkasanya mesin 5000an cc jip, dengan mesin dobel gardannya. Turunan terjal, licin, berbatu dan berlubang dilalui dengan aman. Maklumlah pengemudinya, Mas Patel, juga putra Tengger asli Ngadisari.
Tak terasa kami mulai memasuki wilayah savanna yang berumput dan semak tanaman adas (konon ini adas yang digunakan untuk bumbu masak – dan tumbuh liar). Dalam kegelapan, hanya bulan dan bintang yang menyinari; menambah serunya perjalanan pada pagi buta ini.
Gelap Gulita
Saat Masih Gelap
Memasuki area lautan pasir, jalanan bisa mendadak turun, kalau tidak hati-hati dan waspada celaka menanti. Dari kejauhan mulai nampak banyak lampu yang bergerak turun. Wah rupanya rombongan jip dari Cemoro Lawang di Bromo, sudah mulai turun. Beberapa nampak sudah memasuki lautan pasir juga. Berpaculah kami dengan rombongan jip yang turun itu.
Satu hal yang membuat saya sangat senang adalah saat menyadari bahwa kami adalah satu-satunya jip yang datang dari arah savanna, berarti apa yang kami jalani sampai pada pagi buta ini belum bersinggungan dengan jalur wisata yang umum; meskipun bukan hal baru.
Makin ramainya lampu jip yang terlihat turun dari Cemoro Lawang dan yang sudah ada di lautan pasir, membuat jip semakin cepat dipacu oleh Mas Patel, sementara Mas Monggang dengan tenang menikmati tidur. Wah adrenalin serasa mengalir kencang mengalami pacu jip dipagi buta ini.
Semua jelas mengarah pada satu tujuan, memasuki jalan mendaki nan terjal ke Bukit Penanjakan. Sesudah masuk di jalan ini semua mendaki satu persatu, tidak ada lagi susul menyusul. Tidak boleh mengundang maut!
Melewati jalan mulus yang mendaki terjal berbataskan jurang-jurang, akhirnya kami sampai pada tujuan. Pos Satu di Bukit Penanjakan. Ada apa disana?
Pagi masih gelap, dingin tetap terasa menusuk tulang.
Catatan: foto saat diperjalanan ini tidak ada, jadi diambil dari sebelum dan sesudahnya saja ..
Slideshow ini membutuhkan JavaScript.
-7.923100
112.965917